IMAM BESAR MASJID NEW YORK (USA) CERAMAH DI BANTAENG
Perkembangan pesat Islam di Amerika
Serikat (AS) dalam beberapa dekade terakhir, terutama sejak tragedi 11
September 2001 (black September) yang ditandai runtuhnya gedung Word
Trade Center (WTC) kini mengalami tantangan baru. Ummat Islam di negeri
Paman Sam itu kini kesulitan Imam. Selama ini, para Imam tersebut
umumnya pendatang, bukan warga asli AS, kata Iman Masjid Islamic Center
New York, Amerika Serikat, Shamzhi Ali pada tablik akbar di Masjid Agung
Kabupaten Bantaeng, Rabu (3/4).
Tablik akbar yang ditandai pelantikan
pengurus Persatuan Wanita Tarbiyah (Perwati) Kabupaten Bantaeng tersebut
dihadiri Pembina Badan Kontak Majelis Taklim Sulsel yang juga istri
Wagub Ny Hj Majda Agus Arifin Nu’mang, Bupati Bantaeng diwakili Asisten 1
Muslimin M dan sejumlah pimpinan SKPD. Menurut Imam Besar Islamic
Center New York itu, sejak kasus black September yang menuding Islam
sebagai agama teroris, justru banyak warga AS yang penasaran tentang
Islam. ‘’Dunia barat bahkan sering menilai, Islam tidak menghargai
wanita. Islam hanya menjadikan wanita sebagai obyek dan berbagai
tudingan lainnya. Tapi itu, karena mereka tidak mengerti. Kita bisa
buktikan, betapa Islam sebagai agama yang damai,’’
terang putra
kelahiran Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba itu. Ia kemudian memuji
jemaah masjid Agung yang menghadiri tablik akbar yang didominasi
perempuan. ‘’Kita bisa undang orang-orang barat melihat ini, terlebih di
Kabupaten Bantaeng yang sangat mengagumkan, kebersihannya sangat luar
biasa. Dan hebatnya lagi, pembangunan di daerah ini disertai pembangunan
karakter,’’ tambahnya. Sebagai muslim, sambung Syamzhi Ali, kita bisa
merasakan nikmat Islam dan iman dengan ketenangan hidup.
Ini sangat
berbeda dengan orang AS yang mencari kebahagiaan dan ketenangan di
tempat hiburan malam (bar). Menurutnya, stigma orang AS terhadap Islam
selama ini sangat keliru. Inilah yang menjadi tantangan, bagaimana
mengubah stigma tersebut. Warga Amerika Serikat sering menganggap
madrasah sebagai tempat mencetak teroris, padahal anggapan tersebut
salah dan terbukti dirinya sendiri alumnus madrasah. Putra kelahiran
Kajang Kabupaten Bulukumba itu mengatakan, sebelum peristiwa 11
September sebagian besar warga AS memahami Islam sebagai agama eksotik,
orangnya gampang marah dan terbelakang, padahal kenyataannya tidak
seperti itu, setelah peristiwa tersebut pemahamannya berubah. Sebelum
peristiwa 11 September, ujar dia, yang masuk Islam kebanyakan orang
kulit hitam yang baru keluar dari tahanan,
sedangkan setelah 11
September mereka yang masuk Islam dari kalangan wanita muda,
berpendidikan dan kalangan profesional. Pada berbagai kesempatan
ceramah Shamzhi Ali mengatakan bahwa Islam memberikan solusi terhadap
persoalan diskriminasi termasuk diskriminasi yang terjadi di Amerika
Serikat. "Itu saya katakan juga saat ceramah di Jakarta yang dihadiri
Dubes AS. Sampai sekarang diskriminasi di AS sangat tinggi. New York itu
pusatnya di Manhattan, kemudian ada Time Square, namun penduduk yang
tinggal di up town dan down town terjadi perbedaan yang sangat tinggi,"
katanya.
Tentang terorisme, Imam Besar Islamic Center New York itu
berpandangan akarnya adalah ketidakadilan dunia, namun terorisme tidak
cukup hanya menggunakan pendekatan keamanan. Ia mengatakan, pihaknya
saat ini juga gencar melakukan komunikasi dengan pemerintah setempat.
"Untuk pertama kalinya pada 2001 kami diundang buka bersama Wali Kota
New York Michael Bloomberg. Bloomberg juga merupakan wali kota keturunan
Yahudi yang mengizinkan umat Islam mendirikan masjid di `ground zero`
saat 70 persen warga menolaknya," katanya.
Pada sebuah kesempatan,
Shamzhi bertanya kepada Bloomberg kenapa dirinya mengizinkan umat Islam
membangun masjid di tempat tersebut, lantas dia menjawab dirinya kenal
Islam sudah sepuluh tahun dan Islam itu jujur.
"Umat Islam hanya perlu untuk ibadah.
Kedua, kalaupun saya tidak membela Islam, saya membela konstitusi saya
yang memberikan kebebasan menjalankan agama dari kelompok manapun," kata
Shamsi menirukan Bloomberg. Pada kesempatan tersebut Shamzhi Ali
mengajak bangsa Indonesia memanfaatkan peluang pasar yang ada di Amerika
Serikat dengan meningkatkan SDM seperti bangsa China yang pandai
memanfaatkan peluang. Masih menurut Imam Besar Islamic Center New York,
setelah kasus 11 September, ada masjid yang diserang. Ada orang Islam
yang ditusuk dan ada wanita India yang dikira muslim juga menjadi
korban. Setelah itu, Al Qur’an laris manis.
Namun ternyata, orang-orang
membeli Qur’an, hanya karena mau mengetahui ayat tentang terorisme dan
sejenisnya. Namun, semakin dibaca, mereka semakin merasakan ketenangan
yang tidak pernah dirasakan selama hidupnya. Karena itulah, kita harus
konsisten memperlihatkan keindahan Islam. Orang benci Islam karena
mereka tidak tahu dan tidak mengerti. Ada juga yang khawatir karena
Islam tak bisa lagi dibendung. Tantangan kita ke depan adalah menyiapkan
Imam yang berasal dari warga Negara asli.
‘’Kita harus bisa mendidik
bule-bule itu menjadi Imam,’’ terang Syamzhi Ali yang menyayangkan
kurangnya buku-buku Islam dari Indonesia padahal banyak penulis besar
seperti Hamka. Sebagai bangsa yang memiliki ummat Islam terbesar di
dunia, seharusnya kita bisa mewarnai Islam di AS atau Eropa, namun
hingga kini, buku-buku yang merupakan karya besar anak bangsa itu tidak
ada di AS, kuncinya.(hms) warga Amerika Serikat sering
menganggap madrasah sebagai tempat mencetak teroris, padahal anggapan
tersebut salah dan terbukti dirinya sendiri alumnus madrasah. Shamsi
mengatakan sebelum peristiwa 11 September sebagian besar warga AS
memahami Islam sebagai agama eksotik padang pasir, orangnya gampang
marah-marah dan terbelakang, padahal kenyataannya tidak seperti itu,
setelah peristiwa tersebut pemahamannya berubah. Sebelum peristiwa 11
September, ujar dia, yang masuk Islam kebanyakan orang kulit hitam yang
baru keluar dari tahanan, sedangkan setelah 11 September mereka yang
masuk Islam dari kalangan wanita muda, berpendidikan dan kalangan
profesional. Pada berbagai kesempatan ceramah Shamsi Ali mengatakan
bahwa Islam memberikan solusi terhadap persoalan diskriminasi termasuk
diskriminasi yang terjadi di Amerika Serikat. "Itu saya katakan juga
saat ceramah di Jakarta yang dihadiri Dubes AS.
Sampai sekarang
diskriminasi di AS sangat tinggi. New York itu pusatnya di Manhattan,
kemudian ada Time Square, namun penduduk yang tinggal di up town dan
down town terjadi perbedaan yang sangat tinggi," katanya. Tentang
terorisme, Shamsi berpandangan akarnya adalah ketidakadilan dunia, namun
terorisme tidak cukup hanya menggunakan pendekatan keamanan. Shamsi
mengatakan pihaknya saat ini juga gencar melakukan komunikasi dengan
pemerintah setempat.
"Untuk pertama kalinya pada 2001 kami diundang
buka bersama Wali Kota New York Michael Bloomberg. Bloomberg juga
merupakan wali kota keturunan Yahudi yang mengizinkan umat Islam
mendirikan masjid di `ground zero` saat 70 persen warga menolaknya,"
katanya. Pada sebuah kesempatan, Shamsi bertanya kepada Bloomberg
kenapa dirinya mengizinkan umat Islam membangun masjid di tempat
tersebut, lantas dia menjawab dirinya kenal Islam sudah sepuluh tahun
dan Islam itu jujur. "Umat Islam hanya perlu untuk ibadah. Kedua,
kalaupun saya tidak membela Islam, saya membela konstitusi saya yang
memberikan kebebasan menjalankan agama dari kelompok manapun,
" kata
Shamsi menirukan Bloomberg. Pada kesempatan tersebut Shamsi mengajak
bangsa Indonesia memanfaatkan peluang pasar yang ada di Amerika Serikat
dengan meningkatkan SDM seperti bangsa China yang pandai memanfaatkan
peluang.
0 komentar: